Taman Hutan Raya (TAHURA) WAR Lampung
Taman Hutan Raya atau yang sering disebut dengan Tahura
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau
bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
Tahura Wan Abdul Rachman (WAR) dibentuk berdasarkan SK Menhut No.
408/kpts-II/1993 dengan luas 22,.244 Ha. TAHURA Wan Abdul Rachman memiliki
topografi bergelombang ringan sampai berat dan sebagian datar, di dalam kawasan
terdapat 4 (empat) buah gunung yaitu : G. Rantai (1.671 m dpl), G. Pesawar (661
m dpl), G. Betung (1.240 m dpl) dan G. Tangkit Ulu Padang Ratu (1.600 m dpl).
Lokasi Tahura WAR tidak terlalu jauh dari Kota Bandar
Lampung (12 Km), yaitu melalui route Lampung-Hanura.
Masyarakat yang tinggal di dalam kawasan Tahura Wan Abdul
Rachman sudah sejak tahun 1960-an dimana kawasan ini belum ditetapkan sebagai
Tahura. Pada tahun 1997 Aparat Dinas Kehutanan dan TNI melakukan pengusiran
terhadap masyarakat yang tinggal didalam kawasan yang diklaim oleh pemerintah
sudah menjadi Tahura. Aparat pemerintah tersebut bukan saja melakukan
pengusiran, tetapi juga membakar seluruh bangunan rumah tempat tinggal dan
sekolah yang sudah bediri disana.
Setelah dilakukannya pengusiran tersebut, sebagian masyarakat yang berada didalam kawasan sudah keluar dan mengungsi. Akan tetapi, pada tahun 1998 banyak masyarakat kembali lagi kedalam kawasan karena mereka merasa tempat mereka tinggal dan mencari nafkah hanya ditempat yang sejak dulu mereka tempati. Masyarakat yang tinggal disana seluruhnya berladang dan menanam tanaman keras, seperti padi, kopi, cengkeh, coklat, kopi dll. Sama seperti didaerah lainnya, seluruh tanaman cengkeh masyarakat pada tahun 1982 mati dibunuh oleh Tommy Suharto. Pada saat itu Tommy ingin memonopoly tanaman cengkeh di Indonesia. Pada saat itu tanaman cengkeh milik masyarakat tumbuh subur dan mulai berbuah.
Kesadaran Untuk Bersatu
SHK Lestari adalah sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat yang
didirikan di Muara Tiga Desa Hurun Kec. Padang
Cermin Kab. Lampung Selatan pada tanggal 14 Februari 2002. Kelompok ini berdiri
karena adanya kesadaran sebagai masyarakat yang tinggal dan mempunyai usaha
sebagai petani di kawasan register 19 dan bertekad untuk mewujutkan kehidupan
yang adil dan sejahtera dan mengembalikan fungsi konservasi dan melestarikan
alam yang sampai saat ini masih terjaga kelestariannya. Anggota SHK Lestari
adalah masyarakat yang tinggal di talang (kebun/ladang) Muara Tiga. Saat ini
anggota SHK Lestari sudah mencapai seratus orang lebih.
Sampai dengan saat ini kenyamanan mereka untuk tinggal dan berladang tidaklah seperti dulu lagi. Rasa takut, resah dan was-was akan dilakukannya pengusiran warga oleh aparat masih menyelimuti diseluruh masyarakat yang tinggal disana.
Karena pentingnya bersatu serta bisa menyatukan suara untuk bernegosiasi dengan Pemerintah Lampung agar bisa menjaga keharmonisan hidup mereka dengan alam, memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, maka mereka sadar pentingnya sebuah kelompok dan berorganisasi. Untuk itulah mereka yang tinggal didalam kawasan yang berbeda-beda suku bangsa ini seperti Jawa, Sunda, Lampung dan Semende (Sumatera Selatan) membentuk sebuah organisasi rakyat yaitu SHK Lestari.
Peralihan fungsi kawasan hutan
dari Kawasan Lindung menjadi Kawasan Konservasi tentu berimplikasi terhadap
bentuk akses dan sistem pengelolaan dalam kawasan tersebut. Berbeda dengan
model pengelolaan dalam fungsi kawasan sebelumnya, bentuk akses masyarakat
dalam fungsi kawasan Tahura ini semakin sempit. Definisi Tahura dapat dilihat
dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Pelestarian Alam. Pada Bab I pasal 1 ayat 7 dijelaskan: "Kawasan Taman
Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan
atau satwayang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan jenis asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi".
Bagi masyarakat Lampung,
khususnya masyarakat kota
Bandar Lampung dan masyarakat di desa-desa sekitarnya, keberadaan Tahura WAR
sungguh amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologi.
Karakteristik bentang alam yang spesifik menjadikan kawasan tersebut sebagai
penyedia berbagai jasa lingkungan untuk wilayah sekitarnya. Karakteristik
demografi di wilayah sekitarnya adalah penduduk urban yang interaksinya dengan
kawasan itu tidak bisa terhindarkan. Setidaknya ada sekitar 420.000 jiwa yang
tersebar di 36 desa dan sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya pada
ekosistem Tahura Wan Abdurahman.
Geliat pertumbuhan kota Bandar Lampung yang sekaligus merupakan ibu kota Propinsi juga berimplikasi
terhadap berbagai kebutuhan sarana vital dan strategis, seperti PDAM,
transportasi dan infrastruktur lainnya. Pemenuhan terhadap kebutuhan vital ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi pada perubahan
bentuk penggunaan lahan di kawasan Tahura.
Tidaklah mengherankan jika
berbagai persoalan dan konflik menyelimuti kawasan ini. Terjadinya fenomena
tarik-menarik, pergesekan, tumpang tindih, bahkan saling tindas antar berbagai
pemangku kepentingan tidak terelakkan lagi. Degradasi, deforestasi, perambahan,
pemukiman liar, oportunis, provokator, diktator, dan seabreg dalih kata lainnya
terus bergulir bersautan dan menggema sepanjang waktu.
Opini publik yang berkembang
kemudian adalah siapa yang salah dan siapa yang benar! Saling tuduh antara
masyarakat, LSM dan pemerintah. Berbagai upaya yang ditempuh untuk meredakan
ketegangan antar pihak yang berselisih itu tak kunjung berhasil. Bahkan lebih
tragis lagi masing-masing pihak memperkeruh situasi itu dengan bergerilya
"kucing-kucingan" dalam mempertahankan kepentingannya. Sikap saling
menghindar dan permusuhan mendominasi dinamika sosial dan semakin memperburuk
kondisi Tahura WAR. Kondisi terakhir
pada tahun 2005 menurut pemaparan beberapa pihak menunjukkan bahwa luasan
degradasi Kawasan hutan Register 19 Gunung Betung itu telah mencapai 60-70%
(menurut LSM LK 21) atau sekitar 40% (menurut Dinas Kehutanan Provinsi
Lampung).
Kurangnya perhatian dan pengawasan dari pemerintah saat ini
kerusakan Tahura Wan Abdul Rachman sudah mencapai 80% dari luasan ± 22.000 Ha.
Dalam upaya turut menjaga kawasan Tahura, SHK Lestari mencoba merancang konsep
ekowisata yang berbasiskan komunitas yang tinggal didalam kawasan. Pengembangan
ekowisata di Tahura WAR bisa melibatkan masyarakat yang tinggal didalam
kawasan, begitu juga aplikasinya di lapangan. Sebagai langkah awal, SHK Lestari
sudah melakukan pemetaan yang secara partisipatif melibatkan seluruh masyarakat
yang tinggal di Muara Tiga dan luas kawasan kelola kelompok SHK Lestari seluas
625,75 Ha.
Konsep ekowisata dilakukan dalam upaya untuk mendekatkan kelompok masyarakat pada pemerintah dan mengkolaborasikan program pengelolaan kawasan Tahura. Berdasarkan rencana UPTD Tahura WAR, fungsi Tahura WAR adalah sebagai pusat penelitian, pendidikan dan ekowisata. Diharapkan dengan adanya kolaborasi dan pengakuan dalam hal pengelolaan kawasan ini, masyarakat yang tinggal didalam kawasan bisa mendapatkan ketenangan dalam mengelola hutan agar tetap lestari dan masyarakat juga bisa meningkatkan nilai ekonomi pendapatan dengan pengelolaan hasil hutan bukan kayu sehingga keadilan dan kesejahteraan bisa tercapai.
Komentar
Posting Komentar