Proses Perubahan Lanskap Hutan Tropis di Kongo
I. Karakteristik Lokasi
Perang bersaudara berlangsung berkepanjangan di Kongo sejak 1998 yang menghancurkan serta menyeret seluruh wilayah tersebut dan negara-negara di sekitarnya. Aksi kekerasan tersebut telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut hingga akhirnya PBB mengambil alih permasalahan di negara itu dan memaksa Presiden Joseph Kabila menyelenggarakan Pemilihan Umum pada 30 Juli 2006.
Sumber mineral negeri tersebut, yang berlimpah,
telah disedot untuk mendanai perang dan bagi keuntungan pribadi sementara
kebanyakan warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan tak-adanya
prasarana bagi negara tersebut, yang besarnya menyamai Eropa Barat, Pemilu
terbukti menjadi tantangan logistik.
Kongo merupakan salah satu ekosistem dunia yang paling terancam. Penebangan kayu komersiil, kliring untuk pertanian subsisten, dan perselisihan sipil luas telah menghancurkan hutan, penghuni hutan pengungsi, dan mengakibatkan perluasan perdagangan “daging satwa”.
Dilatarbelakangi oleh supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Kongo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia. Oleh karena itu Kongo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Kongo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Kongo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Kongo dan telah berulang-ulang kali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut.
Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Kongo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Kongo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Kongo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger.
Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resep-resep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Kongo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Kongo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan global.
Hal tersebut di atas yang menyebabkan kerusakan hutan hujan di Kongo, baik dari hasil kayu, satwa dan hasil tambangnya yang diambil dan dipergunakan secara tidak bijak seperti deforestasi hutan yang hasilnya untuk pendanaan perang antar-saudara, antar-negara di Afrika.
II. Arah Perubahan Lanskap
Perang Kongo Kedua yang terjadi di Republik
Demokratik Kongo berkaitan erat dengan eksploitasi dan penjarahan kekayaan
sumber daya alam Kongo. Salah satunya adalah tantalum atau coltan. Namun, tidak
banyak orang mengetahui arti penting dan pengaruh coltan dalam perang yang
terjadi di Kongo ini. Coltan menjadi mata rantai penting eksploitasi sumber
daya alam Kongo. Perang Kongo Kedua ini telah melibatkan pertempuran antara
pemerintah Kongo, berbagai kelompok pemberontak dan setidaknya enam negara
Afrika lain yang berdekatan dengan Kongo. Perang ini juga melibatkan peran
perusahaan multinasional dalam jaringan perdagangan dan eksploitasi coltan. Coltan
sebagai sumber daya yang sangat berlimpah di Kongo justru tidak mampu mendorong
kongo memperbaiki krisis yang terjadi di dalam negara dan justru menyebabkan
Kongo terjebak dalam perang dan eksploitasi yang berkepanjangan. Coltan menjadi
komoditas yang menyebabkan eskalasi keberlangsungan konflik bersenjata di Kongo
karena coltan merupakan mineral paling strategis seiring dengan kemajuan
teknologi di akhir 1990an. Oleh karena itu, keberlimpahanan coltan di Kongo
semakin menarik peran dan menambah jumlah aktor eksternal yang terlibat dalam
Perang Kongo Kedua. Perang Kongo Kedua mengalami eskalasi konflik yang
melibatkan kelompok-kelompok pemberontak, negara-negara tetangga Kongo dan
perusahaan-perusahaan multinasional dalam mempertahankan dan meningkatkan
intensitas konflik di Kongo untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi dari
eksploitasi sumber daya alam Kongo. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan
kondisi Kongo yang dipenuhi dengan konflik antar etnis dan kelemahan pemerintahan
Kongo melalui aktivitas-aktivitas ekonomi baik legal maupun ilegal.
Untuk mendapatkan lebih banyak coltan,
pemberontak memaksa para penambang merambah jauh ke dalam kawasan hutan
lindung dan taman nasional Kongo, Kahuzi
Biega National Park. Mereka membuka paksa hutan subur tempat gajah Afrika
dan gorilla berkembang biak. Pembukaan hutan telah mengurangi sumber makanan
gajah dan gorilla dan merusak habitat kedua binatang tersebut.
Gangguan-gangguan tersebut disebabkan oleh ulah
manusia, hewan, bahkan oleh alam itu sendiri. Perubahan yang ditimbulkan bervariasi,
variabel dasar dari gangguan adalah besarnya
gangguan, frekuensi, ukuran dan penyebarannnya. Untuk memprediksikan dampak
dari gangguan pada komunitas dan lansekap, penting untuk dipahami tentang
arsitektur gangguan ini secara spasial dan temporal. Gangguan juga dapat
menggabungkan perubahan jangka panjang
dengan realita, seperti yang terjadi di rainforest
Kongo. Sejak beberapa dekade yang lalu sampai saat ini, menunjukkan perubahan
setidaknya ada suksesi alam. Namun lebih cenderung kepada hasil yang negatif
terhadap sumberdaya alamnya. Setidaknya dapat dipelajari sampai dimana rainforest Kongo mampu menyediakan
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, khususnya masyarakat Kongo.
Perang bersaudara berlangsung berkepanjangan di Kongo sejak 1998 yang menghancurkan serta menyeret seluruh wilayah tersebut dan negara-negara di sekitarnya. Aksi kekerasan tersebut telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut hingga akhirnya PBB mengambil alih permasalahan di negara itu dan memaksa Presiden Joseph Kabila menyelenggarakan Pemilihan Umum pada 30 Juli 2006.

Kongo Basin Countries dikenal
sebagai jantung dari kegelapan Joseph Conrad. Wilayah Kongo telah lama menyulap
pikiran pigmi, binatang mitos dan wabah penyakit yang mengerikan serta kanibal.
Kongo merupakan “sungai” bumi kedua terbesar dan
memiliki hutan hujan kedua terbesar di dunia (18% dari sisa hutan hujan tropis
bumi). Basin Kongo merupakan 70% dari tanaman penutup Benua Afrika
dan porsi besar keanekaragaman hayati Afrika dengan lebih dari 600 jenis pohon
dan 10.000 spesies hewan. Enam negara, yakni Kamerun, Republik Afrika Tengah,
Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Guinea Khatulistiwa dan Gabon
berbagi 1,5 juta mil persegi cekungan Kongo.Kongo merupakan salah satu ekosistem dunia yang paling terancam. Penebangan kayu komersiil, kliring untuk pertanian subsisten, dan perselisihan sipil luas telah menghancurkan hutan, penghuni hutan pengungsi, dan mengakibatkan perluasan perdagangan “daging satwa”.
Dilatarbelakangi oleh supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Kongo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia. Oleh karena itu Kongo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Kongo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Kongo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Kongo dan telah berulang-ulang kali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut.
Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Kongo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Kongo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Kongo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger.
Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resep-resep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Kongo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Kongo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan global.
Hal tersebut di atas yang menyebabkan kerusakan hutan hujan di Kongo, baik dari hasil kayu, satwa dan hasil tambangnya yang diambil dan dipergunakan secara tidak bijak seperti deforestasi hutan yang hasilnya untuk pendanaan perang antar-saudara, antar-negara di Afrika.
II. Arah Perubahan Lanskap

Keadaan ini akhirnya menjadikan
coltan sebagai sumber daya alam yang menjadi mata rantai untuk menopang dan membiayai konflik di Kongo. Kurang lebih 80% coltan dunia di peroleh dari pertambangan hutan hujan di
Kongo, Afrika. Daerah ini merupakan rumah bagi gorilla, endoskopi, gajah,
dan kera, tapi aktivitas pertambangan mengganggu habitat mereka, sama halnya
dengan menarik para penambang ilegal.

Bahkan, kemiskinan dan kelaparan akibat
peperangan memaksa para penduduk sipil dan penambang membunuh gorilla untuk
dimakan dan dijual dagingnya kepada para pemberontak yang menguasai wilayah
tersebut.
Di Kahuzi Biega National Park, tercatat populasi
gorilla telah menyusut dari 258 menjadi 130.
Program Perlindungan
Alam PBB mencatat, jumlah gorilla di seluruh taman nasional di wilayah Republik
Demokrasi Kongo telah menyusut 90% dalam 5 tahun terakhir, dari 17.000 ekor
gorilla, hanya 3000 ekor yang tersisa kini. Konon, banyak bayi-bayi gorilla
yang gagal bertahan hidup setelah terpisah dari induknya yang terbantai. Selain itu,
hutan-hutan menjadi rusak parah, populasi hewan terancam punah dan menjadi keprihatinan
dunia. Selain
hasil tambangnya, hutan hujan (rainforest)
di Kongo, juga dieksploitasi hasil kayunya. Illegal
logging yang marak dilakukan oleh pengusaha nasional maupun pejabat tinggi
Kongo setidaknya merusak ± 550.000 Ha per tahun.
Program
kliring untuk pertanian subsisten juga dianggap sebagai “biang kerok” perubahan
lansekap yang buruk pada hutan hujan (rainforest)
di Kongo. Pohon-pohon besar ditebangi dan diseret sepanjang hutan, sementara
jalan akses yang terbuka membuat para petani miskin mengubah hutan menjadi
lahan pertanian.
Di Afrika para pekerja penebang hutan
menggantungkan diri pada hewan-hewan sekitar untuk mendapatkan protein. Mereka
memburu hewan-hewan liar seperti gorila, kijang, dan simpanse untuk dimakan.
Setiap tahun, ribuan
mil hutan hujan dihilangkan untuk kegunaan pertanian. Dua kelompok yang
bertanggung jawab dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian adalah
petani miskin dan perusahaan besar. Para petani miskin di banyak bagian dunia
bergantung pada pembersihan hutan untuk menghidupi keluarganya. Tanpa akses ke
tanah pertanian yang lebih baik, mereka menggunakan cara tebang-dan-bakar untuk
membersihkan bidang-bidang tanah di hutan untuk periode waktu yang pendek.
Biasanya mereka bercocok-tanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga
tanah kehabisan nutrisi dan mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru
di dalam hutan.
Masa Depan Kehutanan di Kongo Pasca-konflik
Pada bulan Februari 2007, sebanyak
250 orang yang merupakan wakil-wakil dari pemerintah, LSM, perusahaan swasta,
dan organisasi internasional berkumpul di Brussel untuk membicarakan masa depan
kehutanan di Negara Demokratik Kongo. Tanpa mengesampingkan isu yang terus
berkembang, para peserta diskusi bersepakat akan pentingnya tiga hal yang
merupakan prioritas, yaitu meneruskan moratorium penebangan yang dilakukan oleh
para pengusaha hutan; menyelesaikan kajian tentang keabsahan ijin penebangan
yang ada sekarang; dan memulai proses zonasi penggunaan lahan partisipatif.
Sebuah laporan yang dikeluarkan World Bank,
CIFOR, dan CIRAD, bekerjasama dengan LSM lokal dan internasional, mendukung
konsensus Brussel. Kehutanan Pasca Konflik di Republik Kongo: Analisa Agenda
Prioritas (Forests in Post-Conflict Democratic Republic of Congo: Analysis of a
Priority Agenda), menghimpun informasi yang tersedia tentang kondisi dan
kecenderungan hutan hujan tropis di Kongo (hutan hujan tropis terbesar nomor
dua di dunia) setelah peperangan yang terus menerus dan pengelolaan hutan yang
salah kaprah. Laporan tersebut menganalisa kontribusi hutan terhadap mata
pencaharian sekitar 40 juta penduduk, dan kontribusinya terhadap konservasi
keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon. Lebih lanjut laporan tersebut juga
membeberkan tantangan
yang akan dihadapi dalam revitalisasi prospektif pengusahaan hutan.
Laporan tersebut memaparkan perkiraan perubahan
yang akan terjadi terhadap nilai ekonomi produk-produk yang berbasis kayu dan
jasa hutan di Negara Demokratik Kongo. Kemudian disimpulkan bahwa ternyata
nilai produk-produk kayu bakar dan daging satwa yang berasal dari dalam hutan
jauh melebihi nilai yang diperoleh dari ekstraksi kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) sangat penting untuk mata pencaharian penduduk miskin, sementara
pengusahaan hutan secara historis hanya memberikan kontribusi yang sedikit bagi
masyarakat. Sangat mengejutkan bahwa nilai kayu yang dihasilkan dari sektor
industri formal diperkirakan hanya sekitar USD 60 juta per tahun; lebih rendah
jika dibandingkan dengan estimasi penerimaan yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan hutan yang dilakukan secara informal dan perlindungan Daerah Aliran
Sungai (DAS).
Laporan tersebut memperingatkan
bahwa perdamaian dan pemulihan ekonomi, yang bukan merupakan sektor kehutanan,
akan menghidupkan kembali pengusahaan hutan ketika hambatan-hambatan
transportasi dan infrastruktur lainnya dapat diatasi. Sejak tahun 2002,
pemerintah Republik Demokratik Kongo telah mencabut 163 kontrak pengusahaan
hutan yang telah melanggar peraturan yang berlaku. Karena tindakan itu, sekitar
25 juta hektar kawasan hutan telah berubah menjadi lahan yang dikuasai
masyarakat, dan telah menghentikan pencadangan areal untuk pengusahaan hutan
yang baru. Hasilnya, sekarang terbuka kesempatan yang lebih luas untuk
mengkonsolidasikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan yang memberikan arah
pembangunan sektor kehutanan menuju pemerataan sosial yang lebih baik dan
menghasilkan kelestarian lingkungan.
Namun besarnya beban tugas tersebut
yang meliputi perencanaan penggunaan lahan partisipatif, penegakan hukum, dan
pengelolaan pendapatan yang adil, nampaknya sulit dilaksanakan karena
keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang ada. Di
Brussel, pemerintah Kongo menyampaikan kesiapannya untuk turut berperan serta
dalam mekanisme inovatif ini untuk memobilisasi pendanaan global, namun hal ini
nampaknya juga sulit dibandingkan dengan kebutuhan mendesak melalui
usulan-usulan kegiatan konkret untuk mengatasi masalah jasa lingkungan yang
dewasa ini dihadapi oleh sektor kehutanan di Kongo.
Masa depan kehutanan
di Republik Demokratik Kongo akan tergantung pada keberlanjutan komitmen
politis pemerintahnya untuk melakukan reformasi, dan keberlanjutan komitmen
masyarakat internasional untuk membantu mereka.
III. Yang Dapat Dipelajari
Proses
yang muncul dalam ekologi lansekap ialah gangguan. Gangguan
merupakan femona umum dan terjadi dimana saja di alam ini, dan akan tampak
jelas pada saat perubahan lansekap, ekosistem struktur komunitas dan populasi,
perubahan substrat, lingkungan fisik dan ketersediaan sumber daya. Gangguan
inilah proses dasar yang bertanggung jawab atas proses lainnya seperti
fragmentasi, pergerakan hewan, kepunahan lokal maupun regional dan lain-lain.
Setiap lansekap
terbentuk, dirawat dan diubah oleh gangguan. Sebagai contoh, gangguan
seperti pembukaan lahan
di hutan hujan Kongo, dan penambangan
akibat yang kuat terhadap struktur dan fungsi lansekap.
Semoga bermanfaat.----
Komentar
Posting Komentar