Proses Perubahan Lanskap Hutan Tropis di Kongo

I. Karakteristik Lokasi

Perang bersaudara berlangsung berkepanjangan di Kongo sejak 1998 yang menghancurkan serta menyeret seluruh wilayah tersebut dan negara-negara di sekitarnya. Aksi kekerasan tersebut telah menghancurkan infrastruktur dan perekonomian negara tersebut hingga akhirnya PBB mengambil alih permasalahan di negara itu dan memaksa Presiden Joseph Kabila menyelenggarakan Pemilihan Umum pada 30 Juli 2006.

Sumber mineral negeri tersebut, yang berlimpah, telah disedot untuk mendanai perang dan bagi keuntungan pribadi sementara kebanyakan warganya hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan tak-adanya prasarana bagi negara tersebut, yang besarnya menyamai Eropa Barat, Pemilu terbukti menjadi tantangan logistik.


Kongo Basin Countries dikenal sebagai jantung dari kegelapan Joseph Conrad. Wilayah Kongo telah lama menyulap pikiran pigmi, binatang mitos dan wabah penyakit yang mengerikan serta kanibal.
Kongo merupakan “sungai” bumi kedua terbesar dan memiliki hutan hujan kedua terbesar di dunia (18% dari sisa hutan hujan tropis bumi). Basin Kongo merupakan 70% dari tanaman penutup Benua Afrika dan porsi besar keanekaragaman hayati Afrika dengan lebih dari 600 jenis pohon dan 10.000 spesies hewan. Enam negara, yakni Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Guinea Khatulistiwa dan Gabon berbagi 1,5 juta mil persegi cekungan Kongo.

Kongo merupakan salah satu ekosistem dunia yang paling terancam. Penebangan kayu komersiil, kliring untuk pertanian subsisten, dan perselisihan sipil luas telah menghancurkan hutan, penghuni hutan pengungsi, dan mengakibatkan perluasan perdagangan “daging satwa”.

Dilatarbelakangi oleh supply bahan dasar pembuatan produk informatika dan telekomunikasi tersebut, yakni coltan (columbite-tantalite), mengalami penurunan drastis. Hal ini terjadi karena kekacauan dan konflik politik yang terjadi di Kongo (dulunya bernama Zaire), sebagai negara penghasil 80% coltan dunia. Oleh karena itu Kongo mempunyai arti yang strategis bagi perusahaan-perusahaan tambang dunia, termasuk militer AS, sama strategisnya dengan Teluk Persia (dimana Irak berada). Kongo juga kaya akan emas, tembaga, diamond, alumunium, uranium, cobalt, cadmium dan produk hutan. Negara-negara tetangga Kongo seperti Uganda, Rwanda dan Burundi yang miskin kekayaan alam juga tertarik masuk Kongo dan telah berulang-ulang kali mencari celah untuk mengambil-alih kekayaan di negara tersebut.


Kekacauan, konflik dan pembunuhan massal di Kongo sudah memakan korban lebih dari 4 juta jiwa sejak 1996. Tentara Rwanda (Tutsi) dan Uganda yang menyerbu masuk Kongo didukung sepenuhnya (baik langsung maupun tidak langsung) oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan Canada. Perusahaan-perusahaan tambang besar seperti AMF (American Mineral Fields), Bechtel Corporation, Haliburton dan Barrick Gold Canada menjadi pemain utama dalam mengeruk kekayaan di Kongo tersebut, yang juga melibatkan tokoh-tokoh politik tingkat tinggi di Washington seperti Mantan Menlu AS George Schultz dan mantan Menteri Pertahanan Casper Weinberger.


Yang menarik dan aneh adalah Bank Dunia dan IMF dalam laporannya tahun 2002 memuji keberhasilan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Uganda dan Rwanda seolah-olah pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut naik karena mengikuti resep-resep kebijakan dari kedua lembaga tersebut, tanpa melihat fakta bahwa sejak tahun 1996 kedua negara tersebut sudah terlibat perampokan Coltan, emas, diamonds dan berbagai sumberdaya alam lain di Kongo, dan mendapatkan pendapatan dari ekspor hasil curian tersebut karena kedua negara tersebut tidak memiliki coltan, emas dan diamond. Laporan kedua lembaga tersebut seolah-olah menjustifikasi tindakan perampokan yang dilakukan Uganda dan Rwanda di Kongo, yang didukung oleh negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan global.


Hal tersebut di atas yang menyebabkan kerusakan hutan hujan di Kongo, baik dari hasil kayu, satwa dan hasil tambangnya yang diambil dan dipergunakan secara tidak bijak seperti deforestasi hutan yang hasilnya untuk pendanaan perang antar-saudara, antar-negara di Afrika.


II. Arah Perubahan Lanskap

Perang Kongo Kedua yang terjadi di Republik Demokratik Kongo berkaitan erat dengan eksploitasi dan penjarahan kekayaan sumber daya alam Kongo. Salah satunya adalah tantalum atau coltan. Namun, tidak banyak orang mengetahui arti penting dan pengaruh coltan dalam perang yang terjadi di Kongo ini. Coltan menjadi mata rantai penting eksploitasi sumber daya alam Kongo. Perang Kongo Kedua ini telah melibatkan pertempuran antara pemerintah Kongo, berbagai kelompok pemberontak dan setidaknya enam negara Afrika lain yang berdekatan dengan Kongo. Perang ini juga melibatkan peran perusahaan multinasional dalam jaringan perdagangan dan eksploitasi coltan. Coltan sebagai sumber daya yang sangat berlimpah di Kongo justru tidak mampu mendorong kongo memperbaiki krisis yang terjadi di dalam negara dan justru menyebabkan Kongo terjebak dalam perang dan eksploitasi yang berkepanjangan. Coltan menjadi komoditas yang menyebabkan eskalasi keberlangsungan konflik bersenjata di Kongo karena coltan merupakan mineral paling strategis seiring dengan kemajuan teknologi di akhir 1990an. Oleh karena itu, keberlimpahanan coltan di Kongo semakin menarik peran dan menambah jumlah aktor eksternal yang terlibat dalam Perang Kongo Kedua. Perang Kongo Kedua mengalami eskalasi konflik yang melibatkan kelompok-kelompok pemberontak, negara-negara tetangga Kongo dan perusahaan-perusahaan multinasional dalam mempertahankan dan meningkatkan intensitas konflik di Kongo untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam Kongo. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi Kongo yang dipenuhi dengan konflik antar etnis dan kelemahan pemerintahan Kongo melalui aktivitas-aktivitas ekonomi baik legal maupun ilegal.


Keadaan ini akhirnya menjadikan coltan sebagai sumber daya alam yang menjadi mata rantai untuk menopang dan membiayai konflik di Kongo. Kurang lebih 80% coltan dunia di peroleh dari pertambangan hutan hujan di Kongo, Afrika. Daerah ini merupakan rumah bagi gorilla, endoskopi, gajah, dan kera, tapi aktivitas pertambangan mengganggu habitat mereka, sama halnya dengan menarik para penambang ilegal.
Untuk mendapatkan lebih banyak coltan, pemberontak memaksa para penambang merambah jauh ke dalam  kawasan hutan lindung dan taman nasional Kongo, Kahuzi Biega National Park. Mereka membuka paksa hutan subur tempat gajah Afrika dan gorilla berkembang biak. Pembukaan hutan telah mengurangi sumber makanan gajah dan gorilla dan merusak habitat kedua binatang tersebut.

Bahkan, kemiskinan dan kelaparan akibat peperangan memaksa para penduduk sipil dan penambang membunuh gorilla untuk dimakan dan dijual dagingnya kepada para pemberontak yang menguasai wilayah tersebut. Di Kahuzi Biega National Park, tercatat populasi gorilla telah menyusut dari 258 menjadi 130.
Program Perlindungan Alam PBB mencatat, jumlah gorilla di seluruh taman nasional di wilayah Republik Demokrasi Kongo telah menyusut 90% dalam 5 tahun terakhir, dari 17.000 ekor gorilla, hanya 3000 ekor yang tersisa kini. Konon, banyak bayi-bayi gorilla yang gagal bertahan hidup setelah terpisah dari induknya yang terbantai. Selain itu, hutan-hutan menjadi rusak parah, populasi hewan terancam punah dan menjadi keprihatinan dunia. Selain hasil tambangnya, hutan hujan (rainforest) di Kongo, juga dieksploitasi hasil kayunya. Illegal logging yang marak dilakukan oleh pengusaha nasional maupun pejabat tinggi Kongo setidaknya merusak ± 550.000 Ha per tahun.

Program kliring untuk pertanian subsisten juga dianggap sebagai “biang kerok” perubahan lansekap yang buruk pada hutan hujan (rainforest) di Kongo. Pohon-pohon besar ditebangi dan diseret sepanjang hutan, sementara jalan akses yang terbuka membuat para petani miskin mengubah hutan menjadi lahan pertanian.
Di Afrika para pekerja penebang hutan menggantungkan diri pada hewan-hewan sekitar untuk mendapatkan protein. Mereka memburu hewan-hewan liar seperti gorila, kijang, dan simpanse untuk dimakan.

Setiap tahun, ribuan mil hutan hujan dihilangkan untuk kegunaan pertanian. Dua kelompok yang bertanggung jawab dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian adalah petani miskin dan perusahaan besar. Para petani miskin di banyak bagian dunia bergantung pada pembersihan hutan untuk menghidupi keluarganya. Tanpa akses ke tanah pertanian yang lebih baik, mereka menggunakan cara tebang-dan-bakar untuk membersihkan bidang-bidang tanah di hutan untuk periode waktu yang pendek. Biasanya mereka bercocok-tanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan nutrisi dan mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru di dalam hutan.

Masa Depan Kehutanan di Kongo Pasca-konflik


Pada bulan Februari 2007, sebanyak 250 orang yang merupakan wakil-wakil dari pemerintah, LSM, perusahaan swasta, dan organisasi internasional berkumpul di Brussel untuk membicarakan masa depan kehutanan di Negara Demokratik Kongo. Tanpa mengesampingkan isu yang terus berkembang, para peserta diskusi bersepakat akan pentingnya tiga hal yang merupakan prioritas, yaitu meneruskan moratorium penebangan yang dilakukan oleh para pengusaha hutan; menyelesaikan kajian tentang keabsahan ijin penebangan yang ada sekarang; dan memulai proses zonasi penggunaan lahan partisipatif.


Sebuah laporan yang dikeluarkan World Bank, CIFOR, dan CIRAD, bekerjasama dengan LSM lokal dan internasional, mendukung konsensus Brussel. Kehutanan Pasca Konflik di Republik Kongo: Analisa Agenda Prioritas (Forests in Post-Conflict Democratic Republic of Congo: Analysis of a Priority Agenda), menghimpun informasi yang tersedia tentang kondisi dan kecenderungan hutan hujan tropis di Kongo (hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia) setelah peperangan yang terus menerus dan pengelolaan hutan yang salah kaprah. Laporan tersebut menganalisa kontribusi hutan terhadap mata pencaharian sekitar 40 juta penduduk, dan kontribusinya terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon. Lebih lanjut laporan tersebut juga membeberkan tantangan yang akan dihadapi dalam revitalisasi prospektif pengusahaan hutan.

Laporan tersebut memaparkan perkiraan perubahan yang akan terjadi terhadap nilai ekonomi produk-produk yang berbasis kayu dan jasa hutan di Negara Demokratik Kongo. Kemudian disimpulkan bahwa ternyata nilai produk-produk kayu bakar dan daging satwa yang berasal dari dalam hutan jauh melebihi nilai yang diperoleh dari ekstraksi kayu. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sangat penting untuk mata pencaharian penduduk miskin, sementara pengusahaan hutan secara historis hanya memberikan kontribusi yang sedikit bagi masyarakat. Sangat mengejutkan bahwa nilai kayu yang dihasilkan dari sektor industri formal diperkirakan hanya sekitar USD 60 juta per tahun; lebih rendah jika dibandingkan dengan estimasi penerimaan yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan hutan yang dilakukan secara informal dan perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Laporan tersebut memperingatkan bahwa perdamaian dan pemulihan ekonomi, yang bukan merupakan sektor kehutanan, akan menghidupkan kembali pengusahaan hutan ketika hambatan-hambatan transportasi dan infrastruktur lainnya dapat diatasi. Sejak tahun 2002, pemerintah Republik Demokratik Kongo telah mencabut 163 kontrak pengusahaan hutan yang telah melanggar peraturan yang berlaku. Karena tindakan itu, sekitar 25 juta hektar kawasan hutan telah berubah menjadi lahan yang dikuasai masyarakat, dan telah menghentikan pencadangan areal untuk pengusahaan hutan yang baru. Hasilnya, sekarang terbuka kesempatan yang lebih luas untuk mengkonsolidasikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan yang memberikan arah pembangunan sektor kehutanan menuju pemerataan sosial yang lebih baik dan menghasilkan kelestarian lingkungan.

Namun besarnya beban tugas tersebut yang meliputi perencanaan penggunaan lahan partisipatif, penegakan hukum, dan pengelolaan pendapatan yang adil, nampaknya sulit dilaksanakan karena keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang ada. Di Brussel, pemerintah Kongo menyampaikan kesiapannya untuk turut berperan serta dalam mekanisme inovatif ini untuk memobilisasi pendanaan global, namun hal ini nampaknya juga sulit dibandingkan dengan kebutuhan mendesak melalui usulan-usulan kegiatan konkret untuk mengatasi masalah jasa lingkungan yang dewasa ini dihadapi oleh sektor kehutanan di Kongo.

Masa depan kehutanan di Republik Demokratik Kongo akan tergantung pada keberlanjutan komitmen politis pemerintahnya untuk melakukan reformasi, dan keberlanjutan komitmen masyarakat internasional untuk membantu mereka.

III. Yang Dapat Dipelajari

Proses yang muncul dalam ekologi lansekap ialah gangguan. Gangguan merupakan femona umum dan terjadi dimana saja di alam ini, dan akan tampak jelas pada saat perubahan lansekap, ekosistem struktur komunitas dan populasi, perubahan substrat, lingkungan fisik dan ketersediaan sumber daya. Gangguan inilah proses dasar yang bertanggung jawab atas proses lainnya seperti fragmentasi, pergerakan hewan, kepunahan lokal maupun regional dan lain-lain. Setiap lansekap terbentuk, dirawat dan diubah oleh gangguan. Sebagai contoh, gangguan seperti pembukaan lahan di hutan hujan Kongo, dan penambangan akibat yang kuat terhadap struktur dan fungsi lansekap.

Gangguan-gangguan tersebut disebabkan oleh ulah manusia, hewan, bahkan oleh alam itu sendiri. Perubahan yang ditimbulkan bervariasi, variabel dasar dari gangguan adalah besarnya gangguan, frekuensi, ukuran dan penyebarannnya. Untuk memprediksikan dampak dari gangguan pada komunitas dan lansekap, penting untuk dipahami tentang arsitektur gangguan ini secara spasial dan temporal. Gangguan juga dapat menggabungkan perubahan jangka panjang dengan realita, seperti yang terjadi di rainforest Kongo. Sejak beberapa dekade yang lalu sampai saat ini, menunjukkan perubahan setidaknya ada suksesi alam. Namun lebih cenderung kepada hasil yang negatif terhadap sumberdaya alamnya. Setidaknya dapat dipelajari sampai dimana rainforest Kongo mampu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, khususnya masyarakat Kongo.


Semoga bermanfaat.----

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pulai, Pohon Berkhasiat Obat

Way Kambas: Bercengkrama dengan alam lewat Lensa

Mengubah alga merah menjadi minyak bumi